Kepri  

Nasib Nelayan Kepulauan Riau di Negeri Maritim

Jaka, salah seorang Nelayan di Kampung Madong saat hendak pergi melaut untuk menjaring ikan. Foto : Oktarian

Bataminfo.co.id – Hari itu Selasa siang 27 September 2021, sekitar 11.00 WIB kondisi langit di Kampung Madong, Kelurahan Kampung Bugis Kota Tanjungpinang tengah di guyur hujan deras. Kampung Madong, adalah sebuah Kampung yang berhimpun dalam 1 Rukun Warga (RW) dengan penduduk berjumlah sekitar 120 KK. Termasuk dalam kawasan pesisir, lokasi kampung Madong sendiri persisnya berada di tepi muara yang menghulu ke Sungai Nyirih dan terus ke wilayah Kabupaten Bintan hingga menyambung dengan waduk Sei Gesek. Penduduk disini mayoritasnya bekerja sebagai nelayan dengan menggunakan armada sejenis perahu berbahan kayu dan fiber yang hanya mampu maksimal mengangkut 2 orang.

Dengan kondisi air yang masih pasang, terdapat pelantar beton berumur diatas 10 tahun, disitu terlihat banyak perahu yang tertambat, itulah perahu perahu milik warga nelayan Madong. Sementara tak jauh dari pelantar Beton tadi, di beranda rumah panggung yang menghadap ke laut, terlihat duduk dua laki-laki, yaitu Ali (63 tahun) bersama Jaka (30 tahun). Aktifitas yang dilakukan kedua laki-laki itu adalah merakit alat tangkap ketam yang biasa disebut Bento. Setiap Bento yang telah di rakit, maka pemilik yang menggunakan jasa mereka akan membayar senilai Rp4 ribu. Adapun pekerjaan itu dilakukan borongan, sekitar 300 sampai 500 unit banyaknya.

Itulah salah satu aktifitas yang dilakukan nelayan setempat, demi mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari. Pak Ali mengungkapkan, selama pandemi Covid-19 pendapatan hasil melaut mereka semakin bertambah jauh menurun. Terlebih pada beberapa bulan sebelumnya, tepatnya sekitar Mei hingga Juni dimana kasus Covid sedang tinggi-tingginya, membuat sebuah restoran seafood yang ada di kampung tersebut tutup.

“Ikan tak bisa dijual bang, penampung tak mau membeli.” Ungkap pak Ali kepada tim liputan kolaboratif yang difasilitasi oleh Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta bekerja sama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat.

Jaka sang menantu Ali membenarkan, tak hanya Ikan yang tak laku, harga Gonggong (sejenis kerang) dan Kepiting juga jauh merosot. Hal ini itu menurutnya karena daya beli masyarakat yang ikut melemah akibat pandemi.

Nelayan Madong umumnya melaut ketika kondisi air laut surut. Mereka biasanya hanya menyusuri Muara sampai ke perairan Sebauk Tanjungpinang. Adapun jenis ikan yang berhasil ditangkap dengan menggunakan alat tangkap nelayan sederhana berupa jaring jenis polo, tangsi ataupun dengan menombak Udang.

Sedangkan beberapa nelayan yang memiliki modal memilih berinvestasi Kelong apung Bilis, karena hasilnya bisa lebih lumayan lagi. Pak Ali pun berkisah, bahwa di zaman beberapa puluh tahun silam, meski harga ikan tidak semahal saat ini, namun ikan jenis Belanak, Lebam dan Dingkis bisa lebih mudah ditangkap walaupun masih disekitar perairan Madong ini. Sedangkan kondisi saat ini selain sulit didapatkan karena ikan semakin sedikit, daya beli warga juga turun. Alhasil kesejahteraan nelayan juga semakin berat. Bahkan penghasilan yang didapat semakin tidak menentu saja.

“penghasilan kami tak menentu lagi, dari hari ke hari dari Minggu ke Minggu bahkan ke Bulan, nelayan seperti gali lubang tutup lubang” tutur Ali.

Disaat normal, biasanya ikan yang telah siap dipasarkan bisa langsung di antarkan ke restoran hingga hotel-hotel yang ada di sekitar Kota Tanjungpinang. Biasanya per 1 Kilogram ikan Belanak dijual seharga 30 ribu rupiah, ikan Dingkis sebesar 35-40 ribu rupiah dan Kerapu dihargai Rp40-50 ribu rupiah perkilogramnya. Namun sejak Pandemi, harga ikan kini sempat turun.

Sekelumit kisah penghasilan nelayan yang minim dimasa pandemi Covid-19 itu, juga dialami ratusan ribu nelayan se Kabupaten dan kota di Kepri lainnya. Berdasarkan data dari Dinas Kelautan dan Perikanan atau DKP provinsi Kepri. Setidaknya ada sebanyak 194.221 Jiwa nelayan tradisional Kepri, dimana yang terbanyak terdapat di Kota Batam. Kota Batam yang berpenduduk lebih dari 1 juta jiwa sendiri saat ini 40.221 orang diantaranya adalah nelayan.

Keluhan Tangis nelayan Batam lebih miris lagi. Bertetangga dengan Singapura tak membuat nasib menjadi lebih baik, termasuk bagi ribuan nelayan yang tinggal di pulau-pulau sekitar Batam. Pasalnya para pengepul tak mau membeli hasil tangkapan nelayan hingga membuat pendapatan nelayan menurun. Kondisi itu dialami sejumlah warga pulau Bertam Kelurahan Kasu, Kecamatan Belakang Padang, Kota Batam.

Kisah itupun diangkat oleh sebuah lembaga kemanusiaan global Aksi Cepat Tanggap (ACT). Dalam tayangan di kanal Chanel YouTube yang baru tayang sejak 19 Agustus 2021 lalu itu, bahkan menindaklanjutinya dengan menggalang donasi. Dimana dana yang terkumpul akan digunakan untuk membantu perekonomian nelayan yang membutuhkan.

BACA JUGA:   UU Daerah Kepulauan Semakin Memaksimalkan Pembangunan Kepri

Nofran, selaku Staf program ACT Kota Batam saat dihubungi via telpon seluler membenarkan bahwa pihaknya akan menggunakan dana yang terkumpul untuk dibelanjakan untuk kebutuhan nelayan dan keluarga seperti bahan pokok dan pengadaan alat tangkap. Tak hanya itu, ACT juga berupaya membina UMKM lokal dengan pinjaman lunak yang nantinya menampung hasil tangkapan nelayan Pulau Bertam.

Sulitnya mendapatkan BBM dan kemampuan alat tangkap

Persatuan Nelayan Tradisional Indonesia (PNTI) Provinsi Kepri membeberkan sekelumit persoalan yang dihadapi nelayan tradisional. Salah satunya persoalan mendasar Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi yang kerap dikeluhkan para nelayan. Nelayan tradisional di negeri maritim itu disebut sulit mendapatkan BBM subsidi dari sub penyalur. Nelayan pun khawatir banyaknya pemain minyak memanfaatkan momen demi meraup keuntungan.

Sekretaris PNTI Kepri, Diki dalam kesempatan duduk ngopi bersama kami, mengaku telah mendengar aspirasi nelayan soal BBM subsidi. PNTI juga telah melakukan koordinasi ke Dinas Kelautan dan Perikanan Kepri agar mengetahui mekanisme penyaluran BBM ke nelayan. Dalam koordinasi itu, DKP menjelaskan alur penyaluran BBM subsidi itu hingga sampai ke Nelayan. Di mulai dari Pemerintah menetapkan Kouta BBM, kemudian Pertamina meneruskan ke Agen Penyalur. Dari agen, kemudian ada sub penyalur untuk menjualnya ke nelayan.

“Ternyata proses penyaluran BBM subsidi itu dari Pertamina kemudian diteruskan ke Agen Penyalur dan diteruskan ke sub penyalur lalu sampai ke Nelayan. Nah, sampai ke Nelayan itu harga sudah beda, Nelayan juga sulit mendapatkan BBM karena sering mendengar dari sub penyalur itu kosong, padahal Kouta BBM subsidi sudah ditentukan,” kata Diki.

Selain BBM. Berdasarkan aspirasi yang diserap PNTI Kepri, nelayan juga dihadapi dengan persoalan sarana. Selama ini nelayan tradisional meminjam uang ke tengkulak untuk melaut dengan pembagian hasil laut yang didapat. Nelayan perlu uang untuk modal melaut salah satunya membeli BBM. Selain itu, Diki juga membeberkan, ada dua kategori nelayan. Pertama nelayan tradisional dan kedua nelayan komersil. Nelayan komersil ini nelayan yang menggunakan kapal besar biasanya menggunakan troll.

Kedua kategori nelayan itu ditetapkan DKP melalui rekomendasi Syahbandar. Yang sering terdengar oleh PNTI, nelayan komersil ini kerap masuk ke kawasan 0-12 mil laut tempat nelayan tradisional berlayar.

Tentu, kata dia, ini menjadi persoalan soal hasil tangkap nelayan tradisional yang berpotensi sedikit dibanding nelayan komersil yang menggunakan trol dan kapal besar.

“Ini yang mesti diawasi oleh pemerintah, nelayan kita ngeluh dengan hasil tangkap yang sedikit karena itu, bagaimana nelayan tradisonal kita mau sejahtera ?,” tanyanya.

Bahkan, PNTI menilai, lemahnya kontrol dari pemerintah soal bantuan yang diberikan ke nelayan hingga dianggap bantuan yang diberikan tidak tepat sasaran. Bantuan-bantuan prasarana mestinya diawasi hingga bantuan tersebut benar- benar jalan.

“Jangan dibantu terus ditinggal, tanpa ada edukasi. Apakah selama ini bantuan yang diberikan apakah sudah membuat nelayan kita sejahtera,” kata Diki.

Diki juga meminta pemerintah lebih jeli dan memonitoring bantuan-bantuan yang diberikan ke nelayan serta bisa membangun sistem yang inovatif.

Diki menyarankan agar DKP Kepri mengkonsepkan berapa jumlah nelayan Budi Daya dan berapa nelayan tangkap menggunakan kelong dan sampan sebelum membagikan bantuan. Bantuan itu, bisa seperti kapal tangkap untuk nelayan. Dengan catatan, pemerintah bekerjasama dengan galangan kapal dalam hal pembuatan kapan nelayan agar lebih terarah.

“Setelah itu baru kasih bantuan kapal itu dengan catatan dikreditkan tanpa bunga agar mereka bisa tanggungjawab,” ujarnya.

Terakhir, untuk menetapkan harga hasil tangkap nelayan yang merata, pemerintah juga dapat membuat badan atau lembaga khusus menampung hasil tangkap nelayan. Hal itu dilakukan agar tidak ada kelompok eksternal yang membeli hasil tangkap nelayan dengan harga yang jauh lebih murah.

Foto : istimewa

Fakta Indikator Kesejahteraan Nelayan di Kepri

Kepulauan Riau yang di keliling pulau-pulau dengan luas lautannya lebih besar dibanding daratan justru mengapa nasib para nelayan tidak sebanding dengan potensi maritim yang ada di daerah itu ? Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Provinsi Kepri melalui Plt Kabid Perikanan, Taufik menyebutkan ada dua penilaian mengapa nelayan di Kepri jika disebut belum sejahtera yaitu minimnya pendidikan dan persoalan ekonomi nelayan itu sendiri. Ia lantas mencontoh nelayan Budidaya, jika nelayan dalam memelihara ikan itu ada memberi makan ikan dengan banyak, harusnya ada takaran memberi makan ikan.

BACA JUGA:   Kembali Torehkan Prestasi, MC Batam Terbaik 3 Nasional

“Akhirnya tidak besar-besar ikan dan ada yang mati. Nah inilah tugas kita terus mengedukasikan,” kata Taufik.

Berbeda dengan nelayan tangkap, kata Taufik, nelayan tangkap sebelum turun ke laut ada yang menggunakan ‘toke’, toke ini yang memodali nelayan saat melaut dengan perjanjian menjual hasil tangkap tersebut ke ‘toke’ dengan harga yang pantas.

“Kalau tengkulak marak di daerah Sumatera, kalau di Kepri setau kami itu toke, toke ini pemilik modal atau tempat peminjam duit. Ini juga yang membuat nelayan ngeluh, padahal disatu sisi dia diuntungkan,” ungkapnya.

DKP sendiri tidak bisa memisahkan antara nelayan dan toke. DKP semaksimal mungkin melakukan edukasi dan pembinaan terhadap bantuan dan hasil melaut. Pemerintah juga sudah melakukan program yaitu menyekolahkan anak-anak nelayan yang memiliki bakat di perikanan. Tidak sedikit juga, anak yang disekolahkan tersebut mundur saat sekolah karena tidak sanggup untuk belajar.

“Kita pernah coba sekolahkan perikanan, tapi mereka ingin pulang, padahal tujuan kita mengangkat nasib dia jadi buyar, kayak Anambas gagal, tapi di Natuna berhasil,” kata Taufik.

Tiap daerah saja, sebut Taufik, jika program sekolah itu berhasil, harapannya mereka bisa menularkan ilmu mereka untuk daerah masing-masing di Kepri.

“Masyarakat perikanan ini jika sudah sulit ya sulit jadinya, karena pertama pola pikir, kemudian pendidikannya juga,” ucapnya.

Indikator kesejahteraan nelayan dapat dilihat pada Nilai Tukar Nelayan (NTN) Badan Pusat Statistik (BPS), menurut Taufik, nelayan Kepri terbilang sejahtera karena lebih diangka 100 berdasarkan data BPS. Dari data BPS Kepri yang diterima DKP, NTN Kepri tahun 2020 yaitu 103,56. Sedangkan NTN Kepri dari Januari – September 2021 yaitu 109,21. Sementara itu, Nilai Tukar Pembudidayaan Ikan (NTPI) 2020 yaitu 100,72. Untuk tahun 2021, dari Januari – September yaitu 103,91. DKP terus melakukan program program kesejahteraan nelayan dan bantuan-bantuan serta pembinaan meskipun data BPS tersebut lebih dari 100.

Tujuan DKP, selain bina nelayan, DKP juga ada tujuan atau cita cita Ingin membuat “Bank” semacam gudang namun didalamnya ada pendingin untuk menampung ikan para nelayan.

“Ini bertujuan agar hasil nelayan bisa kita tampung hingga pada musim hasil tangkap ikan rendah, stok kita sudah ada,” tukasnya.

Persoalan nelayan Kepri terkait sarana dan prasarana, dijelaskan Taufik seperti Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi untuk melaut, Pemerintah tetap merekomendasikan Kouta BBM subsidi itu ke SKK Migas bagi yang memiliki kartu nelayan.

Kartu nelayan itu diterbitkan DKP melalui rekomendasi Syahbandar atas penilaian kapal berapa GT. Persoalan yang kerap terjadi, nelayan kadang timbul rasa malas untuk mengurus kartunya sendiri sehingga DKP tidak dapat merekomendasikan BBM subsidi tersebut ke SKK Migas.

“Akhirnya dia tidak dapat BBM Subsidi, karena itu, kadang kita juga kelebihan Kouta. Misal kita dapat BBM subsidi untuk 400 nelayan, yang terserap itu hanya 300 lebih, akhirnya bersisa,” ungkapnya.

Nelayan Jenis Pekerja Beresiko Rentan dan Beresiko

Selain dihadapkan pada persoalan penghasilan yang minim, kesulitan mendapatkan BBM hingga sarana alat tangkap yang terbatas dan apa adanya. Ada persoalan lain yang tak kalah penting bahkan setiap waktu mengintai jiwa setiap Nelayan di Kepri. Yakni resiko keselamatan mereka dalam bekerja, yang kerap kali mengalami kecelakaan kerja hingga hilang yang berujung kematian terhadap nelayan tradisional itu sendiri. Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) Tanjungpinang mencatat sejak bulan Januari hingga September 2021, di wilayah Kepulauan Riau telah terjadi enam kejadian terhadap nelayan saat tengah melakukan aktifitas sehari-hari di laut.

PH Kepala Kantor Pencarian dan Pertolongan Tanjungpinang, Miswadi mengatakan dari enam kejadian tersebut, satu orang ditemukan selamat, tiga orang meninggal dunia dan dua orang lainnya hilang.

Adapun peristiwa kecelakaan nelayan tersebut terjadi disejumlah lokasi, diantaranya di Perairan Merapas, Kabupaten Bintan, pada bulan Maret 2021. Dalam kejadian tersebut, satu orang nelayan hilang.

BACA JUGA:   Covid-19 Membawa Transformasi Sistem Kerja Pemerintah

“Peristiwa kedua terjadi pada bulan Juni 2021. Seorang nelayan terjatuh saat tengah melaut di perairan Dompak. Korban ditemukan meninggal dunia. Sedangkan peristiwa ketiga terjadi perairan Pangkil. Seorang nelayan kehilangan kontak saat tengah melaut. Nelayan tersebut ditemukan selamat,” ujar Miswadi, Selasa (28/09).

Selanjutnya, peristiwa kecelakaan nelayan jatuh dari pompong di Kabupaten Lingga pada bulan Agustus 2021. Korban ditemukan meninggal dunia.

“Dan yang terakhir nelayan terjatuh di Kelong Trikora pada bulan September 2021. Korban satu orang hilang,” ucap Miswadi.

Tingginya resiko pekerjaan yang dialami nelayan, membuat Badan Perlindungan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek memasukkan Nelayan dalam Kelompok Pekerja rentan beresiko, namun dibarengi ketidak mampuan untuk membayar iuran Peserta BP Jamsostek, di kelompok ini bersama Nelayan jenis pekerjaan lainnya bersama petani, tukang ojek, supir angkot, buruh bongkar muat, pedagang kaki lima dan lainnya.

Anggota Tim Kelompok 9, Oktarian sedang mewawancarai Kepala Kantor Cabang BP Jamsostek Tanjungpinang. Foto: dok pribadi

Kepala Cabang BP Jamsostek Tanjungpinang, Sri Sudarmadi mengungkapkan, Kelompok Pekerja rentan di kepri jumlahnya justru jauh lebih banyak jika dibandingkan kelompok pekerja formal atau kantoran.

“Coverage share kepesertaan BP Jamsostek untuk kerja produktif di wilayah Kepulauan Riau hingga saat ini baru mencapai 60 persen, hal ini karena ada sentra-sentra pekerja seperti kelompok pekerja rentan dan beresiko yang belum terlindungi. Padahal mereka memiliki hal yang sama dengan rekan-rekan mereka yang telah terlindungi. Untuk itu kehadiran Negara justru dibutuhkan untuk hadir disini.” kata Sri Sudarmadi.

Dalam Fokus Grup Diskusi Optimalisasi Penyelenggaraan Perlindungan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang digelar BP Jamsostek dengan mengundang Pejabat OPD terkait Pemprov dan Kabupaten/ Kota baru baru ini. Terungkap bahwa di Wilayah kepulauan Riau masih terdapat 115 ribu jiwa masyarakat pekerja rentan resiko tinggi namun tidak dibarengi kemampuan membayar iuran rutin. FGD itu sendiri dilakukan dalam rangka mencari solusi agar kelompok masyarakat pekerja rentan resiko itu, bisa diberikan stimulus dan terlindungi program-program BP Jamsostek.

“Sampai saat ini kita terus komitmen untuk perlindungan khususnya pekerja rentan di Kepri yang di dominasi nelayan dan jumlahnya sangat besar.” Tegas Sri.

Keseriusan BP Jamsostek itu terbukti saat sudah ada regulasi yang dikeluarkan pemerintah berupa Instruksi Presiden nomor 2 tahun 2021 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang kemudian ditindaklanjuti Menteri dalam negeri R-I lewat Permendagri Nomor 27 tahun 2021 dimana poin utamanya yakni pemerintah memprioritaskan Jamsostek untuk Non-ASN dan Pekerja Rentan.

Meski Peraturan sudah ada, namun nyatanya hingga saat ini jumlah dan persentase nelayan di kepulauan Riau yang terlindungi Program BP Jamsostek masih sangat rendah. Untuk hal ini BP Jamsostek sendiri mengungkapkan, beberapa faktor penyebabnya Antara lain karena ketidak mampuan untuk membayar iuran hingga terkendala pelayanan administrasi yang hanya terdapat di daerah perkotaan. Namun demi menjalankan amanah itu, BP Jamsostek telah menggandeng para pengurus Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia atau HNSI di tingkat ranting untuk menjadi mitra BP Jamsostek. Harapannya layanan jemput bola terhadap nelayan di pesisir hingga pulau-pulau dapat lebih mudah dijangkau.

Lalu bagaimana tanggapan Nelayan. Terkait nilai besaran iuran minimal peserta BP Jamsostek yang hanya sebesar Rp 16.800 per bulan.

Azwan salah seorang nelayan di Kampung Bugis, mengaku bahwa jumlah itu sebenarnya tidak terlalu memberatkan bagi mereka. “ibarat nilai segitu bisa dibayar dengan seekor ikan saja.” Ucapnya berseloroh.

Namun ia berharap, harus ada petugas di lapangan yang ditunjuk untuk mengutip langsung ke Nelayan secara rutin. Menurutnya, jika tidak demikian uang pas pasan yang dimiliki nelayan selalu habis untuk memenuhi kebutuhan yang lebih mendesak.

Ada dua poin Nawacita yang pernah disampaikan Presiden Jokowi dalam pidato rencana pembangunan jangka menengah nasional. Terutama poin pertama, yaitu Menghadirkan kembali Negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh Warga Negara; kemudian poin yakni ketiga Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan. Semoga harapan itu dapat terwujud. Amiin

(Liputan ini dilakukan karya kolaboratif ini dilakukan Oktarian (Tanjungpinang TV), Ambok Akok (Sijori Today) dan Osias De (Bataminfo.co.id), yang difasilitasi oleh Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta bekerja sama dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat ).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *