Bataminfo.co.id, Lingga – Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Kabupaten Lingga tahun 2023 di temukan beberapa temuan kebocoran keuangan negara, LHP dengan nomor 79.B/LHP/XVIII.TJP/04/2024 tersebut menjadi bukti lemahnya pengawasan pemerintah daerah, dalam mengawasi setiap pendapatan dalam pengelolaan pungutan Retribusi Daerah Pada Dinas Perhubungan
Kemudian Dibalik angka-angka realisasi retribusi yang tampak menggembirakan pada Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Kabupaten Lingga tahun 2023, tersimpan kisah pengelolaan yang jauh dari kata tertib. Dinas Perhubungan (Dishub) menjadi sorotan setelah serangkaian temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap pola pungutan yang lamban, tak terverifikasi, bahkan indikasi penggunaan dana retribusi untuk keperluan yang bukan peruntukannya.
Laporan menunjukkan bahwa dari target Rp1,93 miliar, Pemkab Lingga berhasil merealisasikan Rp1,98 miliar pendapatan retribusi, melampaui target. Tapi prestasi itu menyimpan cerita lain. Salah satu yang mencolok: realisasi retribusi parkir dan kepelabuhanan yang penuh keterlambatan, ketidakpatuhan terhadap aturan, dan lemahnya sistem pelaporan.
Dari total Rp469 juta lebih retribusi kepelabuhanan yang dikumpulkan, Rp135 juta di antaranya disetorkan lewat batas waktu. Begitu juga dengan retribusi parkir yang senilai Rp101 juta, terdapat Rp17 juta yang baru disetor setelah pergantian tahun anggaran. Keterlambatan mencapai hingga 114 hari. Apa yang sebenarnya terjadi?
“Hasil investigasi menunjukkan sistem setoran retribusi Dishub belum berbasis harian. Petugas lapangan mengumpulkan dana retribusi dan menyetorkannya dua hingga lima minggu sekali. Uang tersebut dicatat dalam log sederhana tanpa verifikasi memadai. Tidak ada bukti kuat, hanya nomor tiket dan catatan manual,”tulis Auditor BPK dalam LHP yang diterbitkan pada 26 April 2024
Lebih mencengangkan, Kepala Dishub dan jajaran menyatakan bahwa uang retribusi sempat “dipinjam” untuk kebutuhan mendesak warga, seperti pengobatan pasien. Praktik ini jelas menabrak aturan dan membuka celah penyalahgunaan anggaran.
“Petugas Tidak Aktif, Retribusi Hilang”
Dishub juga abai dalam memungut retribusi jasa tambat kapal di empat pelabuhan strategis. Dari pencatatan harian yang dilakukan petugas pelabuhan, semestinya ada Rp32,8 juta yang masuk ke kas daerah. Tapi nyatanya, nihil. Tidak satu pun SKRD diterbitkan, dan tidak satu rupiah pun mengalir dari pos ini selama tahun 2023. Alasannya klasik: keterbatasan petugas dan retribusi harian yang dianggap “tidak signifikan”.
Apakah pemerintah daerah bisa sesuka hati mengabaikan potensi pendapatan hanya karena “nilainya kecil”
Masalah ini tidak bisa dipandang sebagai sekadar “human error”. Ini cerminan dari sistem pengelolaan keuangan publik yang rapuh, tidak transparan, dan jauh dari akuntabilitas. Tidak adanya sanksi terhadap petugas yang telat menyetor, tidak adanya mekanisme digitalisasi, hingga tidak adanya verifikasi internal membuat Dishub seolah menjadi zona abu-abu dalam pengelolaan retribusi.
Perda Nomor 8 Tahun 2018 tegas menyatakan bahwa hasil pungutan wajib disetor paling lambat satu hari kerja. Namun fakta di lapangan memperlihatkan pelanggaran demi pelanggaran yang nyaris menjadi kebiasaan.
Potensi Kehilangan Uang Publik
Jika ditotal, potensi pendapatan yang semestinya masuk tapi terhambat atau belum tertagih bisa menembus angka lebih dari Rp150 juta. Jumlah yang mungkin terdengar kecil dibanding APBD, tapi bisa menjadi sangat berarti jika ditujukan untuk layanan publik, pembangunan infrastruktur, atau bahkan untuk membenahi sistem itu sendiri.
Kepala Dishub, Kabid Laut, hingga Bendahara Penerimaan telah mengakui adanya penyimpangan prosedur. Tapi, sejauh ini belum ada kabar mengenai sanksi atau perbaikan sistem yang sistematis. Audit BPK telah dilakukan, uang memang sudah disetor (meski terlambat), namun pertanyaannya tetap sama: apa jaminannya hal ini tidak akan terulang di tahun anggaran berikutnya?
Apa yang terjadi di Dishub Lingga adalah contoh klasik bagaimana sebuah sistem yang longgar bisa membuat keuangan daerah bocor pelan-pelan. Mungkin tak kentara dalam laporan tahunan, tapi sangat terasa dampaknya dalam jangka panjang. Jika hal ini terus dibiarkan, maka bukan hanya uang rakyat yang hilang—kepercayaan publik pun ikut menguap.
Redaksi akan terus menelusuri lebih jauh potensi kebocoran retribusi di sektor lain, termasuk bagaimana pengawasan internal Pemkab Lingga dijalankan. Kami membuka ruang bagi whistleblower untuk berbicara, sampai menemui titik terang dan investigasi ini dimulai sejak berita ini diterbitkan pada 16 April 2025 (Budi)











