Bataminfo.co.id, Batam – Sejak tahun 2017, ada 537 kontainer bermuatan tekstil masuk ke Indonesia melalui Kota Batam. Diimportasi oleh PT Flemings Indo Batam (FIB) dan PT Peter Gramindo Prima (PGP), keduanya merupakan perusahaan pemilik 27 kontainer kain premium ilegal.
Ratusan kontainer tekstil itu, proses importasinya hingga penerbitan surat persetujuan pengeluaran barang (sppb), ditenggarai menyalahi aturan.
Hal tersebut dibeberkan oleh Dewi Ratna, selaku pengusaha pengguna jasa kepabeanan (PPJK). Dia berperan dalam pengurusan tekait formalitas kepabeanan dua perusahaan importir tersebut ke Direktorat Jendral Bea Cukai (DJBC).
“Dari awal saya sudah wanti-wanti. Karena apa yang importir lakukan kayaknya sudah ada tindak pidana. Hanya dengan melihat dokumen saja, saya sudah tau permainannya kasar,” kata Dewi memulai perbincangan di kantornya di bilangan Batuampar, Rabu 13 Mei 2020.
Bos importir atau pemilik barang bernama Irianto. Karirnya sebagai importir dimulai sekitaran tahun 2017, dikembangkan dalam dua layar perusahaannya yaitu, PT FIB dan PT PGP.
“Dia baru mulai main dan sudah impor 537 kontainer yang dalam manifesnya tekstil. Dalam Februari 2020 ini saja sudah ada 94 kontainer 40 kaki,” ungkap wanita yang sudah berkecimpun dalam dunia export/import barang sejak tahun 1996 itu.
Sebagai pemain lama, Dewi mengaku sempat menegur Irianto, namun hal tersebut tak digubris. Alhasil, nasib Irianto berakhir dibalik teralis Markas Besar (Mabes) Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Irianto diamankan sejak Maret 2020 lalu.
“Nama saya disebut-sebut (DR) sebagai pemilik kontainer atau pemilik barang tidak masalah. Karena faktanya, pemilik barang dalam konteks ini sudah ditahan,” kata wanita yang memiliki sejumlah perusahaan di Batam ini.
Untuk jasa pengurusuan pemenuhan pabean keluar itu ia memasang tarif Rp1.5 juta per kontainer. Dewi mengaku tidak ada mendapat dana lain dari importir untuk pengurusan apapun.
Sederhananya seorang importir saat melakukan kegiatannya harus memenuhi beberapa kewajiban dalam rangka pengeluaran barang dari kawasan pabean. Salah satu hal yang harus ditunaikan mereka kepada DJBC adalah menyertakan dokumen-dokumen impor.
Beberapa dokumen yang dimaksud yaitu mulai dari, Perijinan Umum Kepabeanan, Letter Of Credit (L/C), Pemberitahuan Impor Barang (PIB), Faktur (invoice), serta dokumen pelengkap lainnya. Dalam satu dokumen bisa untuk release pengurusan 10 kontainer.
“Nggak masuk akal (dokumen). Contoh kecilnya begini, hitungan dia perbarang itu harga perkilo, terus harga kilo sama meternya disamakan. Mana boleh, logika aja lah. Saya ketawa aja liat dokumen. Sekarang bermasalah, tak bisa ngelak,” kata dia.
Dewi heran kenapa dokumen bermasalah seperti itu diloloskan oleh DJBC. Bahkan terkesan mulus mendapat surat persetujuan pengeluaran barang (SPPB).
Namun dia tak mau berbicara banyak soal dugaan permufakatan jahat antara petugas dan importir. Karena sebagai PPJK konteks pihaknya hanya sebagai pemberi tahu dokumen ke DJBC.
“Kalau tak percaya tengok aja dokumennya. Kecepatan dalam pengurusan itu, secara logika kita ajalah. Misalnya satu dokumen itu ada 10 kontainer, terus pemeriksaan fisik cuma makan waktu 1 hari. Coba pikir dulu, bagaimana caranya periksa 10 kontainer (40 kaki) itu dalam waktu satu hari. Patut dipertanyakan,” ungkapnya.
Soal pemerikaaan atau penelitian harusnya dilakukan secara menyeluruh dengan mengumpulkan data impor meliputi, harga barang, jumlah, kualitas yang dipesan dari luar daerah pabean, surat keterangan asal (SKA), serta tujuan penerima barang.
Dalam kasus impor tekstil yang dilakukan oleh Irianto secara terang-terangan Dewi mengatakan, harusnya Bea Cukai sudah menemukan pelanggaran atau penyimpangan proses dari awal yaitu pada pelacakan alamat tujuan bukan diimpor oleh produsen.
Hal ini mengacu pada Permendag No.64 tahun 2017 tentang ketentuan impor tekstil dan produk tekstil menyatakan jika bahan baku yang diimpor tidak boleh diperdagangkan atau dipindahtangankan.
“Harusnya BC pasti sudah lebih tau. Kan dari orang Intelijen sudah cek ke Jakarta dan pada alamatnya ditemuka tidak ada pabrik. Tapi kok masih bisa jalan? Siapa yang kasih tau informasi ini? Irianto,” bebernya.
“Kalau aku tidak peduli soal apa kesepakatan mereka. Yang aku tahu kalau sudah ada lampu hijau jalan, kalau belum jangan dulu, yang kasih sinyal lampu hijau siapa? Intelijen,” sambungnya.
Lanjutnya, setelah kasus 27 kontainer tegahan DJBC Karimun mencuat, Dewi mengaku sudah diperiksa terkait manipulasi dokumen oleh Kejaksaan Agung, Mabes Polri, maupun DJBC. Pemeriksaan dilakukan pasa awal April 2020 lalu, atau tak lama setelah penegak hukum selesai memeriksa Irianto.
Dia diperiksa sebagai saksi, beberapa pertanyaan yang diajukan, mulai dari peran pihaknya, hingga proses pengurusan dokumen oleh PPJK.
Pada pemeriksaan oleh Mabes Polri kata dia, penyidik datang ke kantornya bersama Irianto pada 9 April 2020 lalu. Prosesnya berjalan lancar dan dia dapat menunjukkan semua dokumen yang sesuai dengan aturan.
“Dokumen ada semua aku yang ngurusin semua. Semua hasil pemeriksaan sesuai,” ujarnya.
Dia membeberkan, kalau Mabes Polri maupun dan Kejaksaan sudah mengetahui terkait importasi 537 kontainer tersebut, dimana dalam berita acara pemeriksaan (BAP) tbahwa barang impor tersebut tertulis ‘negara asal tidak terindentifikasi’.
“Mabes tanya, hasil pemeriksaan kok bisa keluar. Ya saya jawab mana tau, kan BC yang periksa dan bisa keluar karena ada SPPB,” ungkapnya.
“Itu intinya, kok bisa mereka melakukan itu dan tertulis lagi secara administrasi. Kok bisa? Berarti kan ada sesuatu,” sambungnya
Pemeriksaan oleh Kejagung fokus juga pada pertanyaan soal dokumen masuk. Ada dugaan manipulasi dokumen Certificate of Origin (COO) untuk Bebas Bea Masuk. Di Indonesia COO disebut juga dengan SKA atau Surat Keterangan Asal. Sesuai dengan nama dan fungsinya, COO adalah dokumen yang menerangkan negara asal suatu barang yang diimpor maupun diekspor.
“Kita tidak pernah sangkut paut dengan manipulasi itu. COO itu apabila BX minta baru PPJK kasih. Biasanya diminta saat mau mutus SPPB. Jadi mintanya langsung ke importir. Kecuali yang 27 kontainer itu baru kita punya kopiannya,” kata dia.
Seperti diketahui, Kejaksaan Agung tengah memeriksa sejumlah pejabat tinggi Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) sebagai saksi, terkait dugaan Korupsi (Tipikor) Penyalahgunaan Kewenangan Dalam Importasi Tekstil pada Direktorat Jendral (Dirjen) Bea dan Cukai Tahun 2018 s/d 2020.
Untuk pejabat Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea Cukai (BC) Tipe B Batam, diketahui ada 8 orang yang diperiksa penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Jampidsus Kejagung).
Mereka diperiksa sebagai saksi terkait dugaan Korupsi (Tipikor) Penyalahgunaan Kewenangan Dalam Importasi Tekstil pada Direktorat Jendral (Dirjen) Bea dan Cukai Tahun 2018 sampai dengan 2020.
Adapun nama para saksi yang dimintai keterangannya oleh penyidik antara lain :
1. Susila Brata selaku Kepala Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea Cukai Batam
2. Yosef Hendriyansah selaku Kepala Bidang Pelayanan Fasilitas Kepabeanan dan Cukai I KPU Bea Cukai Batam.
3. Rully Ardian sebagai Kepala Fasilitas Pabean dan Cukai KPU Bea Cukai Batam.
4. Bambang Lusanto Gustomo sebagai Kepala Bidang Pelayanan Fasilitas Kepabeanan dan Cukai II KPU Bea Cukai Batam.
5. M. Munif Kepala Bidang Penindakan dan Penyidikan I KPU Bea Cukai Batam.
6. Kamarudin Siregar selaku Pelaksana Pemeriksa Bidang Penindakan dan Penyidikan (P2)
7. Fabian Cahyo W sebagai Kepala Seksi Penindakan
8. Deni Maryadi selaku Pengawas P2.
Kepala Kantor Penerangan Hukukm (Kapuspenkum) Kejagung Hari Setiyono mengatakan, pemeriksaan ini berdasar pada
Surat Perintah Penyidikan Nomor : Print-22/F.2/Fd,2/04/2020 yang dikeluarkan pada Senin, 27 April 2020 lalu.
Di mana dugaan adanya Tindak Pidana Korupsi dalam proses import tekstil tersebut berawal dari penegahan oleh Bidang Penindakan dan Penyidikan KPU BC Tanjung Priok, penyelundupan 27 kontainer berisi tekstil premium pada 2 Maret lalu.
Seluruh kontainer tersebut singgah di Pelabuhan Batu Ampar, Batam. Dari 27 kontainer yang diamankan tersebut, 10 kontainer milik PT Peter Garmindo Prima. Sedangkan 17 kontainer milik PT Flemings Indo Batam.
“Petugas mendapati ketidaksesuaian mengenai jumlah dan jenis barang antara dokumen PPFTZ-01 Keluar dengan isi muatan hasil pemeriksaan fisik barang oleh Bidang P2 KPU BC Tanjung Priok. Dan setelah dihitung terdapat kelebihan fisik barang, masing-masing untuk PT. PGP sebanyak 5.075 roll dan PT. FIB sebanyak 3.075 roll,” terangnya.
Selain itu dalam dokumen pengiriman disebutkan kain tersebut berasal dari Shanti Park, Myra Road, India dan kapal pengangkut berangkat dari Pelabuhan Nhava Sheva di Timur Mumbai, India. Namun faktanya kapal pengangkut tersebut tidak pernah singgah di India dan kain-kain tersebut ternyata berasal dari China.
“Bahwa fakta yang sebenarnya kontainer berisi kain brokat, sutra dan satin tersebut berangkat dari Pelabuhan Hongkong, singgah di Malaysia dan berakhir di Batam,” ungkapnya.
Kata Hari, pada saat kapal tiba di Batam, kontainer berisi tekstil milik importir PT. FIB dan PT. PGP tersebut kemudian dibongkar dan dipindahkan ke kontainer yang berbeda di Tempat Penimbunan Sementara (TPS) di Kawasan Pabean Batu Ampar tanpa pengawasan oleh Bidang P2 dan Bidang Kepabeanan dan Cukai KPU Batam.
Selanjutnya setelah seluruh muatan dipindahkan ke kontainer yang berbeda, kemudian kontainer asal tersebut diisi dengan kain lain yang berbeda dengan muatan awalnya, yaitu diisi dengan kain polister yang harganya lebih murah dan kemudian diangkut menggunakan kapal lain menuju Pelabuhan Tanjung Priok.
Keseluruhan kontainer itu rencananya akan dikirimkan menuju satu alamat yang sama yakni Komplek Pergudangan Green Sedayu Bizpark, Cakung, Jakarta Timur. (nio)