Bataminfo.co.id, Batam – Perjuangan warga para korban insiden tanah bergerak Pasar Induk Jodoh, sampai kini ternyata belum usai. Sedikitnya masih ada 55 Kepala Keluarga (KK) tetap teguh menuntut ganti rugi yang layak atas rusaknya rumah mereka akibat dampak dari tanah timbunan milik PT Usaha Karya Jaya Makmur (UKJM).
Boni Ginting, selaku perwakilan warga sekaligus pemerhati pasar induk mengungkapkan, perjuangan warga sudah memasuki proses sidang ke-8 di Pengadilan Negeri Batam. Penggugatnya bernama Erlita Wirda Chaniago dengan para pihak tergugat yakni, PT UKJM, Polresta Barelang, Dinas Lingkungan Hidup, dan BP Batam. Lalu ikut tergugat juga DPRD Kota Batam.
“Insiden tanah bergerak memasuki sidang kedelapan. Artinya sidang awal sudah dilewati, mediasi sudah dilewati, pengesahan pun sudah dilewati. Saat ini tinggal dari para korban tanah bergerak itu untuk menempelkan surat pengesahan, jadi tinggal menghadirkan saksi ahli saja,” kata Boni Ginting, ditemui dibilangan Batam Center, Selasa (23/06/2020).
Total ganti rugi yang dituntut oleh warga atas puluhan rumah yang rusak sebesar Rp7,2 miliar. Belum ada kata sepakat untuk angka yang dituju tersebut. Boni mengatakan, sekarang warga menempuh jalur perdata, namun apabila gugatan tersebut tidak diindahkan oleh tergugat maka kasus ini akan dilarikan secara pidana.
“Sidang pertama itu kelengkapan berkas-berkas, kedua kelengkapan penggugat dan saksi segala macam, ketiga masuk ranah mediasi, ranah mediasi gagal, karena pihak PT UKJM yang mempunyai tanah timbun tersebut bilang masyarakat sudah diberikan ganti rugi, pada kenyataannya tidak ada,” ungkapnya.
Boni mengatakan, sebagian warga memang sudah ada yang menerima ganti rugi. Hanya saja itu hitungannya cuma segelintir atau 2-3 persen dari total keseluruhan para korban. Nilai yang diterima pun kata dia, kalau dipikir-pikir pakai akal sehat sangat tidak manusiawi, yakni hanya bekisar 3 jutaan saja untuk per satu unit rumah yang sudah dibuat rusak tak lagi dapat ditinggali.
Sementara para korban yang belum menerima ganti rugi sisanya itu kata dia berjumlah 55 KK. Di mana saat ini mereka hidupnya terancam tidak ounya tempat tinggal, menumpang dari satu rumah ke rumah lainnya. Beberapa ada juga yang memilih tetap bertahan menempati rumah mereka yang dalam kondisi miring dan dapat roboh sewaktu-waktu.
“55 KK itu masih numpang, dan beberapbeberapa yang rumahnya miring mereka masih tinggal disitu. Sebenarnya bahaya sekali, sebabnya tanah timbun yang dibuat PT UKJM itu, belum juga diambil. Masih dibiarkan disitu untuk mempertontonkan ‘kepongahan’ mereka saja,” ketus Boni.
Menurut Boni, bila ada pernyataan dari PT UKJM bahwa mereka sudah menyelesaikan ganti rugi kepada warga, itu adalah kebohongan yang sudah terlampau jauh dan menyimpang dari fakta lapangan.
Namun demikian kata Boni, perihal pembuktian soal ganti rugi tersebut, nantinya akan terbukti sendiri di dalam fakta persidangan. Pihaknya mengklaim mempunyai bukti yang sudah sangat lengkap. Mulai daftar warga para korban, surat-surat kepemilikan, legalitas, hingga dokumentasi kerusakan rumah warga.
“Kalau menurut saya udah terlampau jauh dia berbohong artinya udah menyimpang jauh, karena permasalahannya, tanah timbunan itu dikuasai oleh PT UKJM tanpa mempunyai izin lingkungan, jadi terlepas ada korban atau enggak yang penting dia sudah melelanggar,” ungkapnya.
Lanjut Boni karena proses mediasi gagal, pihaknya meminta proses persidangan yang telah berjalan agar segera disahkan oleh pengadilan. Minggu lalu permintaan tersebut sudah dikabulkan dengan catatan bahwa surat pengesahan itu harus ditempelkan di Kantor Lurah, Rumah Warga, lalu selanjutnya dapat dipublikasikan di media.
“Jadi besok kita tinggal melakukan pembuktian apa yang sudah kita lakukan. Terus juga Majelis Hakim memberi kesempatan untuk menambah daftar korban, dari yang 43 sudah kita tambah 12 KK lagi jadi totalnya ada 55 KK. Kenapa bisa? Karena yang 12 itu waktu pendaftaran, karena rumahnya roboh, mereka cari rumah lain, jadi belum dapat kabar. Tetapi sesudah kita bikin pengumuman baru mereka sadar, dan kebetulan pengadilan mengijinkan untuk menambah korban,” jelas Boni.
Boni memaparkan, pihaknya masih menunggu putusan pengadilan, dan apabila ujungnya nanti PT UKJM tetap menolak tuntutan ganti rugi sebesar 7,2 miliar tersebut, dan pada putusan nanti pihaknya merasa ada deviasi atau penyimpangan maka sejumlah langkah konkret guna menuntut keadilan kata dia tentu sudah jauh-jauh hari dipersiapkan.
“Artinya itu kan suasana sidang. Karena kita semua lengkap dan kita akan lihat putusan pengadilan kalau ada deviasi, pertama tentu kita akan laporkan Hakim tersebut ke Komisi Yudisial, langkah kedua kita akan lakukan banding sampai tingkat Kasasi Mahkamah Agung,” kata dia.
Sekilas Boni menceritakan, kalau lahan tempat tanah timbunan yang bergerak mengakibatkan longsor itu didapatkan oleh PT UKJM pada tahun 2013 lalu, sementara warga sudah bermukim sudah bermukim di sana sejak tahun 2000an.
Sedangkan untuk tanah timbunan itu sendiri sudah ada di lahan tersebut kurang lebih selama 11 bulan. Pada awalnya kata dia tanah itu memang dipersiapkan untuk menimbun rumah warga yang berada di bawahnya, hanya saja langkah perusahaan terkendala soal warga yang tidak terima soal ganti rugi.
“Dan ini semua memang saling mengetahui, jadi ini memang ada kejanggalan juga dalam proses pengalihan tanah itu, sekarang Kita lagi bikin laporan ke Ombudsman nasional untuk hal tsb, ada indikasi mal administrasi yang kita temukan,” kata dia.
Lanjut kata Boni, pihaknya berharap ada keadilan yang bisa diraih warga dalam perjuangan kali ini. Teruntuk Majelis Hakim katanya, setelah dengan adanya bukti-bukti, keterangan saksi, dan fakta lapangan, diharapkan dapat mengambil keputusan seadil-adilnya.
“Harapannya hakim bisa menegakkan hukum seadil-adilnya artinya tidak goyah, karena apa? Karena bukti-bukti, keterangan saksi, terus fakta di lapangan sudah sangat jelas sekali, jadi tidak ada alasan untuk tidak mengabulkan dari korban tanah bergerak ini,” pungkasnya. (nio)