Oleh : Ariantomi Yandra (Ketua Bidang Maritim PP Hima Persis)
Bataminfo.co.id, Artikel – Penambangan pasir laut di perairan Indonesia telah berlangsung sejak tahun 1970-an. Penambangan pasir laut tersebut sebagian besar untuk memenuhi permintaan dari negara tetangga, Singapura. Bagi Singapura, hasil penambangan pasir dari laut wilayah dan perairan kepulauan Riau tersebut telah memperluas wilayah daratannya. Sementara itu, bagi bangsa Indonesia, khususnya masyarakat Kepulauan Riau, laju penambangan pasir laut, selain belum dapat mendatangkan kesejahteraan, juga terlihat indikasi kerusakan ekosistem pesisir, bahkan beberapa pulau kecil telah tenggelam
Kerusakan alam selama ini cenderung bersifat antropogenik. Kondisi stok ikan yang berkurang, perubahan iklim, bahkan abrasi pulau-pulau kecil itu juga bukan terjadi secara tiba-tiba, tetapi karena ketidakmauan atau ketidakmampuan untuk mengendalikan eksploitasi sumber daya dan laju kerusakan ekosistem.
Dampak Penambangan Pasir Laut
Pertama, perubahan morfologi dasar laut menjadi tidak beraturan akibat pengerukan. Perubahan morfologi dasar laut tersebut, secara langsung akan mengganggu kehidupan biota laut dan lingkungan, seperti ekosistem dan abrasi. Proses terjadinya abrasi pantai diwilayah yang pasir lautnya di keruk adalah ketika pada perairan pantai tersebut dikeruk pasirnya, maka beberapa lama setelah pengerukan kubangan yang terbentuk oleh pengerukan tersebut akan dapat memicu migrasi pasir pantai ke daerah kubangan sehingga menyebabkan erosi.
Kedua, menyangkut masalah lingkungan. Berdasarkan catatan Majalah Samudera (2003) menunjukan bahwa banyak pulau-pulau kecil di kawasan Kepulauan Riau yang terancam dan bahkan sudah tenggelam. Hingga tahun 2001 diperkirakan di sekitar kawasan Kota Batam telah 6 pulau tenggalam akibat aktivitas penambangan pasir. Penyebabnya adalah bahwa selama ini penambangan pasir laut dieksploitasi secara besar-besaran. Hal ini dapat dilihat pada tahun 2001 saja pasir laut yang disedot di wilayah Kodya Batam sekitar 61 juta meter kubik. Apalagi sejak Malaysia melarang ekspor pasir laut ke Singapura, praktis makin membuat pengusaha pasir Indonesia kian bernafsu.
Ketiga, kegiatan penambangan pasir laut membawa problem tersendiri bagi masyarakat, khususnya nelayan di Kepulauan Riau. Pengerukan pasir secara besar-besaran berpengaruh langsung bagi ketersediaan sumberdaya ikan, sehingga aktivitas ekonomi di sektor perikanan semakin terancam. Penyedotan pasir telah menghancurkan ekosistem pantai, terutama hilangnya pitoplankton dan zooplakton sebagai makanan ikan dan juvenil ikan. Fishing ground nelayan tradisional juga menjadi semakin jauh akibat kekeruhan yang di akibatkan aktifitas pertambanhan.
Keempat, semakin bertambahnya luas wilayah Singapura. Perluasan wilayah ini secara geopolitik akan memunculkan kasus baru dikemudian hari, yakni persoalan batas laut antara Indonesia dengan Singapura. Penambahan luas wilayah darat secara otomatis akan menambah klaim wilayah laut. Disebabkan penambahan wilayah tersebut terarah ke selatan atau wilayah Indonesia maka wilayah laut Indonesia secara otomatis akan berkurang. Dengan kata lain negara Singapura diduga melakukan ekspansi teritotial secara tidak langsung terhadap wilayah laut Indonesia. Perluasan wilayah Singapura tampak dari luas wilayahnya pada tahun 1991 mencapai 633 km2, menjadi 773,6 km2 pada tahun 2022 atau sekitar bertambah 20%.
Hubungan diplomatik Indonesia dan Singapura
Hubungan diplomatik indonesia dan singapura dalam 2-3 tahun terakhir terlihat mesra, indonesia mendapat beberapa capaian diplomatik dengan diberinya pengelolaan ruang udaran Kepulauan Riau yang selama ini di kelola oleh Singapura kembali ke Indonesia, negosiasi perjanjian ekstradisi, serta komitmen Singapura untuk mendanai IKN. Analisis yang perlu di duga bahwa barter apa yang dilakukan antara Indonesia ke Singapura?
Kita ketahui Singapura merupakan negara yang permintaan pasir lautnya yang cukup besar oleh karna itu patut di duga bahwa dibuatnya peraturan pemerintah ini merupakan bagian dari negosiasi antara Indonesia dan Singapura.
Sedimentasi Laut dijadikan alibi untuk kepentingan bisnis ?
Landasan konstitusi pasal 28 H ayat 1, UU Lingkungan Hidup 32 2009 yang mengatur Negara memberi jaminan dalam pemenuhan hak asasi negara termasuk lingkungan pesisir dan laut. Kalaupun memang sedimentasi merupakan fakta yang terjadi maka pemerintahlah yang memiliki tangung jawab untuk membersihkan hasil sedimentasi yang katanya menimbun karang tersebut, akan tetapi terbitnya PP ini merupakan pengalihan tangung jawab pemerintah ke pihak pembisnis pasir laut yang tertuang pada pasal 10 di PP tersebut dengan memberikan izin.
Kalau sudah masuk kepentingan bisnis bukan pembersihan lagi itu namanya melaikan eksploitasi pasir laut yang bertujuan untuk meraup pundi-pundi keuntungan, buktinya di Kepulauan Riau ada Asosiasi Pengusaha Pasir Laut.
Eksploitasi pasir laut di Indonesia merupakan tindakan yang harus ”dihentikan”. Selain memiliki dampak ekonomi, ekologi dan sosial juga memilki dampak politik terhadap eksistensi NKRI. Kalaupun pemerintah maupun masyarakat ingin memanfaatkan bahan galian golongan C harus jelas dulu justifikasinya apakah hal tersebut tidak memiliki dampak yang luas. Dan, yang lebih penting adalah pemanfaatan tersebut bukan dijual ke negara tetangga seperti Singapura, karena hanya merugikan Indonesia baik secara ekonomi maupun politik.