Bataminfo.co.id, Batam – Kinerja Bea dam Cukai di Kota Batam di pertanyakan. Pasalnya, Batam hingga saat ini masih menjadi primadona peredaran Handphone Black Market.
Hal ini dikatakan Anggota DPRD Kota Batam, Lik Khai, kepada wartawan di kantornya, Kamis (30/7/2020).
“Ada apa dengan Bea dan Cukai Batam, kenapa di tahun 2017 kasus Putra Siregar yang merugikan negara ini tidak diusut tuntas, kenapa baru sekarang munculnya,” imbuh Lik Khai.
Seperti diketahui bersama, Kota Batam dipenuhi dengan Handphone Black Market. Untuk itu, kata Lik Khai, pihaknya merasa curiga dengan Bea Cukai yang memunculkan kembali kasus kepabeanan yang menjerat pengusaha muda asal Batam itu.
“Dengan adanya kasus Putra Siregar ini kita merasa curiga. Kenapa baru sekarang dimunculkan. Kita mengetahui, Kota Batam ini dipenuhi dengan handphone Blackmarket, apa Bea Cukai tidak tau selama ini barang itu masuk lewat mana?..,” ujar Lik Khai.
Lanjutnya, Lik Khai mengatakan Kota Batam merupakan perbatasan antar negara, kenapa keluar masuk barang secara ilegal bisa terus terjadi, bahkan banyak terjadi saat ini yang merugikan negara.
“Kalau Bea dan Cukai mau bersih, di cek lah semua produk-produk yang ilegal masuk ke Kota Batam, tidak mungkin Bea Cukai mengetahui kalau barang itu masuk tanpa cukai. Dan apakah kita bekerja selama ini bersih,” bebernya.
Seperti diketahui sebelumnya, pengusaha muda asal Batam berinisial PS ditetapkan sebagai tersangka atas kasus dugaan penyelundupan 191 unit handphone oleh Kanwil Bea dan Cukai Jakarta.
Kasusnya pun telah dilakukan pelimpahan tahap dua oleh Bea dan Cukai ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Timur. PS diduga melanggar Pasal 103 huruf d Undang-undang nomor 17 tahun 2006 tentang kepabeanan.
Dari halaman akun Instagram dengan nama @bckanwiljakarta disebutkan PS sebelumnya ditangkap karena dugaan penyelundupan 191 handphone seken berbagai merk. Selain itu, juga diamankan uang senilai Rp 61.300.000,- diduga hasil penjualan ponsel.
Dalam postingan itu disebutkan, harta kekayaan PS turut disita dan diperhitungkan sebagai jaminan pembayaran pidana pemulihan keuangan negara. Adapun harta yang disita berupa, rekening bank senilai Rp 50 juta, uang Rp 500 juta dan rumah senilai Rp 1,15 miliar. (ina)